Puisi-Puisi Subagio Sastrowardoyo

d60eef0c34482c7fda25bd71b31a85d4
Subagio Sastrowardoyo

Salju

Asal mula adalah salju

sebelum tercipta Waktu

sentuhan perawan seringan kenangan

adalah semua yang disebut bumi

dan udara terus bicara

sebab bicara tak pernah berhenti

dan salju jatuh seperti mimpi

Angin kutub memanjang selalu

dan meraba tanpa jari

dan di ambang anjing belang menggonggong

sia sia membuka pagi

hanya geliat bayi dufah terasa

pada dinding tua dekat musim binasa

dan salju melebari hari

Bangunnya Waktu bersama penyesalan

ketika manusia dengan mukanya yang jelek

meninggalkan telapak kakinya di salju

sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda

terlempar damba ke angkasa

Pada saat begini terjadi penciptaan

ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan

menghembuskan napas dan bahasa

bagi segala yang tak terucapkan

sedang selera yang meleleh dari pahanya

menerbitkan keturunan yang kerdil

dengan muka tipis dan alis terlipat

suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa

Dengan tangan kasar digalinya kubur

di salju buat tuhan-tuhannya yang mati

dan di lopak-lopak air membeku

mereka cari muka sendiri terbayang sehari

di antara subuh dan kilat senja

sebelum kebinasaan menjadi mutlak

dan salju turun lagi menghapus semua rupa

dalam kenanaran mimpi

 

Sajak

Apakah arti sajak ini

Kalau anak semalam batuk-batuk,

bau vicks dan kayuputih

melekat di kelambu.

Kalau istri terus mengeluh

tentang kurang tidur, tentang

gajiku yang tekor buat

bayar dokter, bujang dan makan sehari.

Kalau terbayang pantalon

sudah sebulan sobek tak terjahit.

Apakah arti sajak ini

Kalau saban malam aku lama terbangun:

hidup ini makin mengikat dan mengurung.

Apakah arti sajak ini:

Piaraan anggerek tricolor di rumah atau

pelarian kecut ke hari akhir?

 

Ah, sajak ini,

mengingatkan aku kepada langit dan mega.

Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.

Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.

Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.

 

Proklamasi

Ketapang yang bercumbuan dengan musim

menjatuhkan daunnya di halaman candi

Aku ingin jadi pohon ketapang yang tumbuh

di muka gerbang berukiran huruf lam

yang dijaga orang kidal

 

Nada Awal

 

Tugasku hanya menterjemah

gerak daun yang tergantung

di ranting yang letih. Rahasia

membutuhkan kata yang terucap

di puncak sepi. Ketika daun

jatuh takada titik darah. tapi

di ruang kelam ada yang merasa

kehilangan dan mengaduh pedih

 

Pidato di Kubur Orang

 

Ia terlalu baik buat dunia ini.

Ketika gerombolan mendobrak pintu

Dan menjarah miliknya

Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan

Ketika gerombolan memukul muka

Dan mendopak dadanya

Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan.

Ketika gerombolan menculik istri

dan memperkosa anak gadisnya

ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian.

Ketika Gerombolan membakar rumahnya

Dan menembak kepalanya

Ia tinggal diam dan tidak mengucap penyesalan.

Ia terlalu baik buat dunia ini

 

Monginsidi

Aku adalah dia yang dibesarkan dengan dongeng di dada bunda

Aku adalah dia yang takut gerak bayang di malam gelam

Aku adalah dia yang meniru bapak mengisap pipa dekat meja

Aku adalah dia yang mengangankan jadi seniman melukis keindahan

AKu adalah dia yang menangis terharu mendengar lagu merdeka

Aku adalah dia yang turut dengan barisan pemberontak ke garis pertempuran

Aku adalah dia yang memimpin pasukan gerilya membebaskan kota

AKu adalah dia yang disanjung kawan sebagai pahlawan bangsa

Aku adalah dia yang terperangkap siasat musuh karena pengkianatan

Aku adalah dia yang digiring sebagai hewan di muka regu eksekusi

Aku adalah dia yang berteriak ‘merdeka’ sbelum ditembak mati

AKu adalah dia, ingat, aku adalah dia

 

Manusia Pertama di Angkasa Luar

Beritakan kepada dunia

Bahwa aku telah sampai pada tepi

Darimana aku tak mungkin lagi kembali.

Aku kini melayang di tengah ruang

Di mana tak berpisah malam dengan siang.

Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang.

Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang.

Jagat begitu tenang. Tidak lapar

Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah.

Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.

Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu

Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota

Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat

Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.

Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa

Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku

Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela

Dengan Alex dan Leo, –itu anak-anak berandal yang kucinta–

Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap

Sekelumit dari pesawatku, seleret dari

Perlawatanku di langit tak terberita.

Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu

Kutinggalkan kemarin dulu?

Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita

Sebab semua telah terbang bersama kereta

ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi

daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji

yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi

yang kukasih. Angkasa ini ini bisu. Angkasa ini sepi

Tetapi aku telah sampai pada tepi

Darimana aku tak mungkin lagi kembali.

Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku

Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang

Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.

Aku makin jauh, makin jauh

Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi

Makin gemuruh.

 

Bunda,

Jangan membiarkan aku sendiri.

 

Lahir Sajak

Malam yang hamil oleh benihku

Mencampakkan anak sembilan bulan

Ke lantai bumi. Anak haram tanpa ibu

membawa dosa pertama

di keningnya. Tangisnya akan memberitakan

kelaparan dan rinduku, sakit

dan matiku. Ciumlah tanah

yang menrbitkan derita. Dia

adalah nyawamu.

 

Kubu

Bagaimana akan bergembira kalau pada detik ini

ada bayi mati kelaparan atau seorang istri

bunuh diri karena sepi atau setengah rakyat terserang

wabah sakit – barangkali di dekat sini

atau jauh di kampung orang,

Tak ada alasan untuk bergembira selama masih

ada orang menangis di hati atau berteriak serak

minta merdeka sebagai manusia yang terhormat dan berpribadi –

barangkali di dekat sini atau jauh di kampung orang.

Inilah saatnya untuk berdiam diri dan berdoa

untuk dunia yang lebih bahagia atau menyiapkan senjata

dekat dinding kubu dan menanti.

 

Keharuan

Aku tak terharu lagi

sejak bapak tak menciumku di ubun.

Aku tak terharu lagi

sejak perselisihan tak selesai dengan ampun.

 

Keharuan menawan

ktika Bung Karno bersama rakyat

teriak “Merdeka” 17 kali.

 

Keharuan menawan

ketika pasukan gerilya masuk Jogja

sudah kita rebut kembali.

 

Aku rindu keharuan

waktu hujan membasahi bumi

sehabis kering sebulan.

 

Aku rindu keharuan

waktu bendera dwiwarna

berkibar di taman pahlawan

 

Aku ingin terharu

melihat garis lengkung bertemu di ujung.

Aku ingin terharu

melihat dua tangan damai berhubung

 

Kita manusia perasa yang lekas terharu

 

Kata

Asal mula adalah kata

Jagat tersusun dari kata

Di balik itu hanya

ruang kosong dan angin pagi

 

Kita takut kepada momok karena kata

Kita cinta kepada bumi karena kata

Kita percaya kepada Tuhan karena kata

Nasib terperangkap dalam kata

 

Karena itu aku

bersembunyi di belakang kata

Dan menenggelamkan

diri tanpa sisa

 

Haiku

malam rebah

di punggung

sepiku

gigir gunung

susut di kaca

hari makin surut

dan bibir habis kata:

dinda, di mana, siapa

tangan terkepal

terhenyak di meja

 

Dan Kematian Makin Akrab

Di muka pintu masih

bergantung tanda kabung

Seakan ia tak akan kembali

memang ia tak kembali

tapi ada yang mereka tak

mengerti – mengapa ia tinggal diam

waktu berpisah. bahkan tak

ada kesan kesedihan

pada muka

dan mata itu, yang terus

memandang, seakan mau bilang

dengan bangga : – Matiku muda –

Ada baiknya

mati muda dan mengikut

mereka yang gugur sebelum waktunya

Di ujung musim yang mati dulu

bukan yang dirongrong penyakit

tua, melainkan dia

yang berdiri menentang angin

di atas bukit atau dekat pantai

dimana badai mengancam nyawa.

Sebelum umur pahlawan ditanam

di gigir gunung atau di taman-taman

di kota

tempat anak-anak main

layang-layang. Di jam larut

daun ketapang makin lebat berguguran

di luar rencana

Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar

yang mengajak

tertawa – itu bahasa

semesta yang dimengerti –

Berhadapan muka

seperti lewat kaca

bening

masih dikenal raut muka

bahkan kelihatan bekas luka

dekat kening

Ia menggapai tangan

di jari melekat cincin

– Lihat, tak ada batas

antara kita. Aku masih

terikat kepada dunia

karena janji karena kenangan

Kematian hanya selaput

gagasan yang gampang diseberangi

Tak ada yang hilang dalam

perpisahan, semua

pulih

juga angan-angan dan selera

keisengan –

Di ujung musim

dinding batas bertumbangan

dan kematian makin akrab

Sekali waktu bocah

cilik tak lagi

sedih karena layang-layangnya

robek atau hilang

-Lihat, bu, aku tak menangis

sebab aku bisa terbang sendiri

dengan sayap

ke langit –

 

Genesis

pembuat boneka

yang jarang bicara

dan yang tinggal agak jauh dari kampung

telah membuat patung

dari lilin

serupa dia sendiri

dengan tubuh, tangan dan kaki dua

ketika dihembusnya napas di ubun

telah menyala api

tidak di kepala

tapi di dada

–aku cinta–kata pembuat boneka

baru itu ia mengeluarkan kata

dan api itu

telah membikin ciptaan itu abadi

ketika habis terbakar lilin,

lihat, api itu terus menyala

 

Daerah Perbatasan

Kita selalu

berada di daerah perbatasan

antara menang dan mati. Tak boleh lagi

ada kebimbangan memilih keputusan :

Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.

Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,

Juga kehormatan bagi manusia

dan keturunan. Atau kita menyerah saja

kepada kehinaan dan hidup tak berarti.

Lebih baik mati. Mati lebih mulia

dan kekal daripada seribu tahun

terbelenggu dalam penyesalan.

Karena itu kita tetap di pos penjagaan

atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman

dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan.

(Sepagi tadi sudah jatuh korban). Hidup

menuntut pertaruhan, dan kematian hanya

menjamin kita menang. Tetapkan hati.

tak boleh lagi ada kebimbangan

di tengah kelaliman terus mengancam.

Taruhannya hanya mati.

 

II

Kita telah banyak kehilangan :

waktu dan harta, kenangan dan teman setia

selama perjuangan ini. Apa yang kita capai :

Kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan

hilangnya ketakutan pada kesulitan.

Kita telah tahu apa artinya menderita

di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian

hanya tantangan terakhir yang setia kita hadapi

demi kemenangan ini. Percayalah :

Buat kebahagiaan bersama

tak ada korban yang cukup berharga. Tapi

dalam kebebasan ini masih tinggal keresahan

yang tak kunjung berhenti : apa yang menanti

di hari esok : kedamaian atau pembunuhan

lagi. Begitu banyak kita mengalami kegagalan

dalam membangun hari depan : pendidikan

tak selesai, cita-cita pribadi hancur

dalam kekacauan bertempur, cinta yang putus

hanya oleh hilangnya pertalian. Tak ada yang terus

bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan

Kita telah kehilangan kepercayan kepada keabadian

Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.

Kita hidup di tengah kesementaraan segala. Di luar

rumah terus menunggu seekor srigala.

 

III

Waktu peluru pertama meledak

Tak ada lagi hari minggu atau malam istirahat

Tangan penuh kerja dan mata terjaga

mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh khianat

Mulut dan bumi berdiam diri. satunya suara

hanya teriak nyawa yang lepas dari tubuh luka,

atau jerit hati

mendendam mau membalas

kematian.

Harap berjaga. Kita memasuki daerah perang.

Kalau peluru pertama meledak

Kita harus paling dulu menyerang

dan mati atau menang

Mintalah pamit kepada anak dan keluarga

dan bilang : Tak ada lagi waktu buat cinta

dan bersenang. Kita simpan kesenian dan

budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata

selagi muda

dan mati atau menang.

Subagio Sastrowardoyo (lahir di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924 – meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995 pada umur 71 tahun) adalah seorang dosen, penyair, penulis cerita pendek dan esei, serta kritikus sastra asal Indonesia. Selama bertahun-tahun, ia adalah direktur perusahaan penerbitan Balai Pustaka.

1 Comments Add yours

  1. Rahmat Muallim berkata:

    bahagia bersama karya, hidup bersama keabadian,
    Karena Matipun merupakan sebuah awal kesempurnaan

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar