![d60eef0c34482c7fda25bd71b31a85d4](https://rusydifirdaus.wordpress.com/wp-content/uploads/2017/02/d60eef0c34482c7fda25bd71b31a85d4.jpg?w=1000)
Salju
Asal mula adalah salju
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi dufah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi
Sajak
Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk,
bau vicks dan kayuputih
melekat di kelambu.
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari.
Kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak terjahit.
Apakah arti sajak ini
Kalau saban malam aku lama terbangun:
hidup ini makin mengikat dan mengurung.
Apakah arti sajak ini:
Piaraan anggerek tricolor di rumah atau
pelarian kecut ke hari akhir?
Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mega.
Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.
Proklamasi
Ketapang yang bercumbuan dengan musim
menjatuhkan daunnya di halaman candi
Aku ingin jadi pohon ketapang yang tumbuh
di muka gerbang berukiran huruf lam
yang dijaga orang kidal
Nada Awal
Tugasku hanya menterjemah
gerak daun yang tergantung
di ranting yang letih. Rahasia
membutuhkan kata yang terucap
di puncak sepi. Ketika daun
jatuh takada titik darah. tapi
di ruang kelam ada yang merasa
kehilangan dan mengaduh pedih
Pidato di Kubur Orang
Ia terlalu baik buat dunia ini.
Ketika gerombolan mendobrak pintu
Dan menjarah miliknya
Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan
Ketika gerombolan memukul muka
Dan mendopak dadanya
Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan.
Ketika gerombolan menculik istri
dan memperkosa anak gadisnya
ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian.
Ketika Gerombolan membakar rumahnya
Dan menembak kepalanya
Ia tinggal diam dan tidak mengucap penyesalan.
Ia terlalu baik buat dunia ini
Monginsidi
Aku adalah dia yang dibesarkan dengan dongeng di dada bunda
Aku adalah dia yang takut gerak bayang di malam gelam
Aku adalah dia yang meniru bapak mengisap pipa dekat meja
Aku adalah dia yang mengangankan jadi seniman melukis keindahan
AKu adalah dia yang menangis terharu mendengar lagu merdeka
Aku adalah dia yang turut dengan barisan pemberontak ke garis pertempuran
Aku adalah dia yang memimpin pasukan gerilya membebaskan kota
AKu adalah dia yang disanjung kawan sebagai pahlawan bangsa
Aku adalah dia yang terperangkap siasat musuh karena pengkianatan
Aku adalah dia yang digiring sebagai hewan di muka regu eksekusi
Aku adalah dia yang berteriak ‘merdeka’ sbelum ditembak mati
AKu adalah dia, ingat, aku adalah dia
Manusia Pertama di Angkasa Luar
Beritakan kepada dunia
Bahwa aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak berpisah malam dengan siang.
Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang.
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang.
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah.
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo, –itu anak-anak berandal yang kucinta–
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari
Perlawatanku di langit tak terberita.
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
Kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh.
Bunda,
Jangan membiarkan aku sendiri.
Lahir Sajak
Malam yang hamil oleh benihku
Mencampakkan anak sembilan bulan
Ke lantai bumi. Anak haram tanpa ibu
membawa dosa pertama
di keningnya. Tangisnya akan memberitakan
kelaparan dan rinduku, sakit
dan matiku. Ciumlah tanah
yang menrbitkan derita. Dia
adalah nyawamu.
Kubu
Bagaimana akan bergembira kalau pada detik ini
ada bayi mati kelaparan atau seorang istri
bunuh diri karena sepi atau setengah rakyat terserang
wabah sakit – barangkali di dekat sini
atau jauh di kampung orang,
Tak ada alasan untuk bergembira selama masih
ada orang menangis di hati atau berteriak serak
minta merdeka sebagai manusia yang terhormat dan berpribadi –
barangkali di dekat sini atau jauh di kampung orang.
Inilah saatnya untuk berdiam diri dan berdoa
untuk dunia yang lebih bahagia atau menyiapkan senjata
dekat dinding kubu dan menanti.
Keharuan
Aku tak terharu lagi
sejak bapak tak menciumku di ubun.
Aku tak terharu lagi
sejak perselisihan tak selesai dengan ampun.
Keharuan menawan
ktika Bung Karno bersama rakyat
teriak “Merdeka” 17 kali.
Keharuan menawan
ketika pasukan gerilya masuk Jogja
sudah kita rebut kembali.
Aku rindu keharuan
waktu hujan membasahi bumi
sehabis kering sebulan.
Aku rindu keharuan
waktu bendera dwiwarna
berkibar di taman pahlawan
Aku ingin terharu
melihat garis lengkung bertemu di ujung.
Aku ingin terharu
melihat dua tangan damai berhubung
Kita manusia perasa yang lekas terharu
Kata
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa
Haiku
malam rebah
di punggung
sepiku
gigir gunung
susut di kaca
hari makin surut
dan bibir habis kata:
dinda, di mana, siapa
tangan terkepal
terhenyak di meja
Dan Kematian Makin Akrab
Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti – mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : – Matiku muda –
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
dimana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa – itu bahasa
semesta yang dimengerti –
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
masih dikenal raut muka
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
– Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan –
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan kematian makin akrab
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
-Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit –
Genesis
pembuat boneka
yang jarang bicara
dan yang tinggal agak jauh dari kampung
telah membuat patung
dari lilin
serupa dia sendiri
dengan tubuh, tangan dan kaki dua
ketika dihembusnya napas di ubun
telah menyala api
tidak di kepala
tapi di dada
–aku cinta–kata pembuat boneka
baru itu ia mengeluarkan kata
dan api itu
telah membikin ciptaan itu abadi
ketika habis terbakar lilin,
lihat, api itu terus menyala
Daerah Perbatasan
Kita selalu
berada di daerah perbatasan
antara menang dan mati. Tak boleh lagi
ada kebimbangan memilih keputusan :
Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.
Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,
Juga kehormatan bagi manusia
dan keturunan. Atau kita menyerah saja
kepada kehinaan dan hidup tak berarti.
Lebih baik mati. Mati lebih mulia
dan kekal daripada seribu tahun
terbelenggu dalam penyesalan.
Karena itu kita tetap di pos penjagaan
atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman
dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan.
(Sepagi tadi sudah jatuh korban). Hidup
menuntut pertaruhan, dan kematian hanya
menjamin kita menang. Tetapkan hati.
tak boleh lagi ada kebimbangan
di tengah kelaliman terus mengancam.
Taruhannya hanya mati.
II
Kita telah banyak kehilangan :
waktu dan harta, kenangan dan teman setia
selama perjuangan ini. Apa yang kita capai :
Kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan
hilangnya ketakutan pada kesulitan.
Kita telah tahu apa artinya menderita
di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian
hanya tantangan terakhir yang setia kita hadapi
demi kemenangan ini. Percayalah :
Buat kebahagiaan bersama
tak ada korban yang cukup berharga. Tapi
dalam kebebasan ini masih tinggal keresahan
yang tak kunjung berhenti : apa yang menanti
di hari esok : kedamaian atau pembunuhan
lagi. Begitu banyak kita mengalami kegagalan
dalam membangun hari depan : pendidikan
tak selesai, cita-cita pribadi hancur
dalam kekacauan bertempur, cinta yang putus
hanya oleh hilangnya pertalian. Tak ada yang terus
bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan
Kita telah kehilangan kepercayan kepada keabadian
Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.
Kita hidup di tengah kesementaraan segala. Di luar
rumah terus menunggu seekor srigala.
III
Waktu peluru pertama meledak
Tak ada lagi hari minggu atau malam istirahat
Tangan penuh kerja dan mata terjaga
mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh khianat
Mulut dan bumi berdiam diri. satunya suara
hanya teriak nyawa yang lepas dari tubuh luka,
atau jerit hati
mendendam mau membalas
kematian.
Harap berjaga. Kita memasuki daerah perang.
Kalau peluru pertama meledak
Kita harus paling dulu menyerang
dan mati atau menang
Mintalah pamit kepada anak dan keluarga
dan bilang : Tak ada lagi waktu buat cinta
dan bersenang. Kita simpan kesenian dan
budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata
selagi muda
dan mati atau menang.
Subagio Sastrowardoyo (lahir di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924 – meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995 pada umur 71 tahun) adalah seorang dosen, penyair, penulis cerita pendek dan esei, serta kritikus sastra asal Indonesia. Selama bertahun-tahun, ia adalah direktur perusahaan penerbitan Balai Pustaka.
bahagia bersama karya, hidup bersama keabadian,
Karena Matipun merupakan sebuah awal kesempurnaan
SukaDisukai oleh 1 orang